RAMADHAN ADALAH SAAT YANG TEPAT UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS IBADAH DAN MERAIH AKHLAKUL KARIMAH
Kami kutip dari ceramah Ustadz Abu Haidar as-Sundawy hafizhahullah di Belanda tentang Akhlakul karimah. Judul di atas adalah dari kami. Silahkan kunjungi:
http://www.youtube.com/watch?v=YtUt6nIDee8
Semoga semua ibadah kita di bulan penuh berkah ini membuahkan akhlakul karimah. Amin.
Ustadz Abu Haidar hafizhahullah menjelaskan:
Keterkaitan antara IBADAH dan AKHLAK sangat erat. Allah sering mengaitkan ibadah dengan akhlak. Allah berfirman dalam surat al Ankabut ketika menjelaskan shalat:
وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (Al Ankabut: 45)
Jika shalatnya benar maka akhlaknya baik. Bahkan dalam shalat kemuliaan akhlakpun wajib dipelihara. Tidak boleh ketika sedang shalat namun memperlihatkan akhlak yang buruk. Apakah mungkin orang yang sedang shalat memperlihatkan akhlak buruk?
Jawabnya: mungkin saja. Misalnya ketika sedang shalat sunnah namun mengganggu orang lain yang berada di sampingnya dengan bacaan yang keras. Hal tersebut tentu saja mengganggu orang lain yang sama-sama sedang shalat dan mengganggu adalah akhlak yang buruk.
Hal ini terjadi di zaman Nabi shallalahu alaihi wa sallam ketika itu sebagian orang shalat dan suara bacaan shalatnya saling mengganggu satu sama lain. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasehat, “Janganlah sebagian kalian mengeraskan suara atas sebagian lainnya lalu menyakiti atau mengganggu muslim lainnya.” (Hadits Abu Dawud, Ahmad, Hakim Ibnu Khuzaimah, Al Baihaqi. Lihat Shahih al Jami 2639 oleh Syaikh al Albani).
Jadi dalam shalatpun tidak boleh mengganggu orang lain, karena menganggu adalah akhlak yang buruk. Maka mengganggu orang lain tidak boleh dilakukan sekalipun dalam shalat. Dari keterangan ini menunjukkan bahwasanya sholat itu wajib menghasilkan akhlak yang baik. Jika shalat tidak menghasilkan akhlak yang baik, maka diancam dengan adzab neraka.
Allah berfirman dalam surat al Mu’minun ketika menjelaskan sifat orang beriman yang khusyu shalatnya:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُون
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu dalam shalatnya
Orang mu’min yang bahagia adalah yang khusyu dalam shalat. Jika tidak khusyu maka tidak akan bahagia bahkan mendapat ancaman sebagaimana dalam surat al Maa’un:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ
Maka kecelakaanlah/ lembah di neraka bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya,
Wail itu lembah dan lembah lebih rendah dari dasar. Allah berfirman dengan kata عَنْ dalam surat al maa’un dan bukan فِي. Maknanya yaitu kecelakaan bagi orang-orang yang lalai SETELAH shalat bukan lalai DALAM shalat. Oleh karena itulah para ulama mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang telah berfirman dalam kitabnya عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ bukan فِي صَلاتِهِمْ سَاهُونَ”. Jika فِي صَلاتِهِمْ سَاهُونَ maknanya dia lalai dalam shalatnya adapun عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ seusai shalat dia lalai.
Maksud dari ‘seusai shalat dia lalai’ yaitu tetap mengerjakan perbuatan keji (fahsya) dan mungkar. Seusai shalat akhlaknya tetap buruk. Oleh karena itulah orang yang shalat namun akhlaknya tetap buruk diancam dengan wail yaitu lembah di dasar neraka.
Lalu timbul pertanyaan jika yang dimaksud wail itu untuk yang setelah shalat namun lalai apakah dalam shalat kita boleh lalai? Dijawab, “Tidak.” Sebab jika dia lalai dalam shalat maka dijamin dia akan lalai di luar shalat.” Maka agar kita tidak lalai di luar shalat maka jangan lalai dalam shalat. Oleh karena itulah ayat 45 surat al Ankabut itu maksudnya adalah orang yang shalatnya khusyu sehingga tidak lalai di luar shalatnya. Orang yang tidak lalai dalam shalatnya maka tidak akan lalai di luar sholatnya. Orang yang lalai dalam sholatnya maka akan lalai di luar shalatnya. Sehingga selesai shalat, akhlaknya tetap buruk. Semua ini menunjukkan keterkaitan yang erat antara ibadah shalat dengan akhlak.
Kedua: Zakat. Apakah ada keterkaitan zakat dengan akhlak? Jawabnya ada. Allah berfirman dalam surat At Taubah 103:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Apa bedanya membersihkan dan mensucikan? Jika artinya sama, untuk apa disebutkan dua kali? تُطَهِّرُهُمْ artinya MEMBERSIHKAN DARI AKHLAK AKHLAK YANG BURUK. Adapun تُزَكِّيهِمْ artinya membersihkan jiwa atau hatinya. Jadi dua-duanya, jiwa dan raga, dibersihkan ketika mengeluarkan zakat. Hal ini menunjukkan bahwa zakat memberikan efek yang besar kepada akhlak.
Ketiga: Shaum. Allah mewajibkan shaum. Salah satu efek shaum adalah dijelaskan Rasulullah dalam sabdanya,
وإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث ولا يصخب، فإن سابه أحد أو قاتله فليقل: إني امرؤ صائم
“Jika salah seorang dari kalian sedang shaum maka janganlah berbuat rafats (berkata yang tidak senonoh), jangan berbuat zholim. Jika ada seseorang yang mengajak berkelahi maka katakanlah saya sedang shaum.” Dan itu wajib juga dilakukan setelah shaum.
Maka barangsiapa yang shaum namun tetap melakukan kemungkaran, shaumnya tertolak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.
“Barangsiapa yang shaumnya tidak menyebabkan dia meninggalkan ucapan dan amalan sia-sia, maka Allah tidak butuh perbuatan orang itu berupa lapar dan dahaga.”
Jadi tidak diterima shaum yang disertai keburukan akhlak. Hal ini menunjukkan bahwa shaum itu wajib menghasilkan akhlak mulia.
Keempat: haji. Allah menjelaskan dalam Surat al Baqarah ayat 197:
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Barang siapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.
Jidal, rafats, fasiq adalah keburukan akhlak maka tidak boleh dilakukan selama haji. Kemudian wajib bagi kita untuk tetap meninggalkan perbuatan tersebut setelah menunaikan ibadah haji. Dan ada jaminan dari Rasulullah bagi yang meninggalkan perbuatan akhlak tercela setelah berhaji:
مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْت، فَلَمْ يَرفُث، وَلَم يَفْسُق، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدْتثهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan haji dan tidak berbuat rafats, tidak melakukan fusuq, maka dosa-dosanya terhapus sebagaimana layaknya ketika ia dilahirkan ibunya”
Ini menunjukkan bahwa haji harus memberikan efek positif terhadap akhlak. Yang tadinya akhlaknya buruk menjadi baik. Yang tadinya akhlaknya rendah jadi mulia. Yang tadinya akhlaknya menyebalkan menjadi menyenangkan.
[Kesimpulan]
Dan barangsiapa yang shalatnya, shaumnya, zakatnya, hajinya tidak mengubah akhlaknya dari buruk menjadi baik maka semua ibadah tersebut ditolak oleh Allah. Shalatnya ditolak dan bukan hanya itu diberi wail (sebagaimana dalam surat al maa’un), shaumnya ditolak dan bukan cuma ditolak tapi diadzab. Intinya IBADAH YANG TIDAK MELAHIRKAN KEMULIAAN AKHLAK, SEMUA IBADAH TERSEBUT DITOLAK ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA.
DENGAN DEMIKIAN, JELAS DAN GAMBLANG KETERKAITAN IBADAH DAN AKHLAK, AKHLAK DENGAN AQIDAH. KESIMPULAN DARI PEMBAHASAN INI ADALAH: AQIDAH BERKAITAN ERAT DENGAN IBADAH. AQIDAH BERKAITAN DENGAN AKHLAK. IBADAH BERKAITAN DENGAN AKHLAK.
Semuanya saling mempengaruhi satu sama lain. Jika aqidah bagus maka akhlakpun bagus. Jika ibadah bagus maka akhlakpun bagus.
~WAHANA BELAJAR UNTUK YANG BERJIWA HANIF~
www.fb.com/Yayasan.Alhanif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar