Jumat, 04 September 2015

Hukum Bekerja di Bank (Syariah)

Hukum Bekerja di Bank (Syariah)

Fatwa Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah: “… Tidak diperbolehkan bekerja di bank seperti itu (yang melakukan transaksi riba, pen.). Sebab bekerja di sana termasuk ta’awun (tolong-menolong) di atas dosa dan permusuhan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Ma’idah: 2)

Disebutkan dalam Ash-Shahih dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan orang lain dengan harta riba, penulis, dan kedua saksinya. Beliau menyatakan:

“(Dosa) mereka sama.”

Adapun gaji yang telah anda terima, maka halal bagi anda bila sebelumnya anda jahil (tidak tahu) tentang hukum syar’inya, dengan dasar firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (Al-Baqarah: 275-276)

Sementara bila anda tahu bahwa pekerjaan tersebut tidak diperbolehkan, maka seyogianya gaji yang anda terima disalurkan kepada proyek-proyek kebajikan dan menyantuni para fuqara disertai dengan taubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Barangsiapa bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan taubat nashuha, maka Allah  Subhanahu Wa Ta’ala akan menerima taubatnya dan mengampuni kesalahannya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:

“Dan bertaubatlah kalian semua wahai kaum mukminin, agar kalian beruntung.” (An-Nur: 31) [Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, Kitab Ad-Da’wah, 2/195-196, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ hal. 128-130]

Fatwa serupa juga disampaikan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah sebagaimana dalam Fatawa Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin (2/703). Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 128).

Juga Al-Lajnah Ad-Da’imah (13/344-345) yang diketuai oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, wakil: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, anggota: Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan dan Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’.

Juga penjelasan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah dalam kitabnya Qam’ul Mu’anid (2/278).

Fatwa mereka berlaku umum bagi siapa saja yang bekerja di bank-bank ribawi, walaupun hanya sebagai sopir atau sekuriti (petugas keamanan). Juga berlaku pada semua lembaga ribawi selain bank. Ini adalah fatwa Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 133).

Bahkan hukumnya pun berlaku bagi pihak yang tidak punya pilihan pekerjaan kecuali di bank ribawi, atau pihak yang kondisi ekonominya pailit dan hanya ada lowongan pekerjaan di bank ribawi, sebagaimana fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah. Lihat Fiqh wa Fatawa Buyu’ (hal. 132-133).

Ancaman keras bagi pihak yang terlibat praktik riba

1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (Al-Baqarah: 275)

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga menegaskan:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (Al-Baqarah: 278-279)

3. Pihak yang terlibat dalam praktik ribawi didoakan laknat oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadits Jabir Radhiallahu ‘anhu yang lalu.

4. Memakan harta riba termasuk dosa yang menghancurkan pelakunya, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu :

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الَمُوبِقَاتِ -فَذَكَرَ مِنْهَا:- أَكْلَ الرِّبَا

“Jauhilah tujuh dosa yang menghancurkan… (beliau menyebutkan di antaranya): memakan harta riba.” (Muttafaqun ‘alaih)

Masih banyak lagi dalil tentang keharaman dan ancaman terhadap muamalah riba.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Tidak ada dalam Kitabullah sebuah ancaman atas tindakan dosa selain syirik yang lebih keras daripada ancaman terhadap riba.” (Syarah Buyu’ hal.125)

 

Harta riba tidak barakah dan berujung pada kehancuran

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan dalam firman-Nya:

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (Al-Baqarah: 276)

Pemusnahan harta riba itu meliputi dua hal:

q Pemusnahan di dunia secara hakiki dengan kehancuran harta tersebut atau diambil barakahnya. Hal ini sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلَّا كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ

“Tidaklah ada seseorang yang memperbanyak riba melainkan akibat akhir urusannya adalah kekurangan.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/16)

q Pemusnahan di akhirat nanti secara maknawi. Dia akan berjumpa dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam keadaan sebagai orang muflis (bangkrut). (Syarah Buyu’ hal. 126)

 

Takwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tawakkal kepada-Nya adalah kunci datangnya rezeki yang halal

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (Ath-Thalaq: 2-3)

Lafadz ﮟ dalam ayat ini disebutkan dalam bentuk nakirah (umum) dalam konteks persyaratan. Secara kaidah ushul fiqih mengandung arti umum, sehingga mencakup jalan keluar dari semua kasus dan problem. Ini juga memberi isyarat makna akan adanya jalan keluar terbaik dalam waktu cepat.

Bila Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang Maha Kuasa lagi Maha Kaya, yang memberi jalan keluar sekaligus menjamin kebutuhan hamba yang takwa dan bertawakkal, lalu apa yang dikhawatirkan? Apa yang dia risaukan? Ketenangan dan ketentraman hatilah yang semestinya dirasakan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan anugerahkan rezeki kepada kalian sebagaimana melimpahkan rezeki kepada burung, di pagi hari dalam keadaan lapar, (pulang) sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiallahu ‘anhu , dan dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad 2/110-111)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar