Sabar Sama Anak, Memang Bisa?
By: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Seberapapun besar kompetensi kita mendidik anak, kita akan tetap "diuji" anak-anak kita. Seberapun besar iman, kita tetap akan "digoda". Seberapapun banyak ilmu mendidik anak, ilmu "ikhlas sabar" yg hanya bisa dipelajari oleh kelapangan hati, tetap akan dibutuhkan jiwa kita.
Saya lagi rapat dengan staf-staf saya di sebuah vila. Kejadiannya sekira tahun 2004/2005. Anak saya waktu itu masih 2 dan dua-duanya masih balita.
Salah saya sendiri yang membawa anak ke kegiatan orang dewasa. Tanpa mempersiapkan kegiatan untuk anak, maka otomatis anak akan membuat kegiatan-kegiatan sendiri. Jika tidak beberapa jam kemudian mereka akan merengek bosan minta pulang.
Waktu itu banyak laptop di sekitar rapat. Rapatnya lesehan karena ingin suasana beda. Maklum di bangunan rumah semacam vila. Anak saya berlarian di sekitar rapat. Saat berlarian tanpa sengaja menubruk papan tulis white board besar dan papan itu menimpa laptop. Laptop yang pernah akhirnya rusak bukan satu, tapi tiga!
Jujur, tentu saja saya marah. Tapi semarah apapun saya, saya tidak berhak memaki-maki mereka, saya tidak berhak mencubit mereka, apalagi memukul mereka! Mereka tidak sengaja, mereka juga tidak pernah bermaksud merusak barang-barang itu.
"Tapi nanti mereka gak kapok jika tidak diapa-apain!" Ketika mereka kaget saja mereka sudah shock. Apalagi setelah saya ngomong dengan lemas "abah sedih, laptop abah jadi hancur! Jadi harus beli lagi.."
Saya tak berpanjang kata. Sebab saya tahu jika lagi marah ucapan saya tidak akan terkontrol. Kalimat negatif yang meluncur dan akhirnya jadi "labeling" negatif untuk mereka.
Memangnya dengan mencubit mereka sekuat pelintiran tangan, laptop saya balik lagi? Memang dengan membentak mereka sekuat volume suara, laptop saya balik lagi? Memangnya dengan memukul mereka sepuas nafsu saya, laptop saya balik lagi?
Di tempat lain ipad saya yang hancur dan sampai saat ini alhamdulillah saya bersyukur justru ipad hancur sebab saya tidak disibukkan dengan itu "makhluk". Saya berpikir "Allah mengirimkan sebuah kejadian untuk saya, demi sebuah tujuan untuk saya".
Semua orangtua akan diuji oleh anaknya sehebat apapun ilmu "parenting" kita. Tapi demi Allah selalu ada perbedaan antara yang belajar (berilmu) dengan yang tidak.
Saya dapat cerita positif lain dari salah member komunitas "Yuk-Jadi Orangtua Shalih-Dads" yang saya kelola. Namanya Pak Rahmat dari Duri.
"Pas pulang kerja tadi sore kebetulan berhenti di sebuah kedai mau beli kecap, tiba tiba saya mendengar suara jeritan anak perempuan, saya menoleh kearah suara tsb, betapa kaget saya melihat seorang bapak memukul anak perempuan nya dengan sendal.
Nurani saya terbakar tanpa sadar saya langsung menghampiri dan melerai, sambil berkata ke sang bapak, 'stop pak! hentikan kalau bapak mau memukul anak bapak lagi, lebih baik bapak pukul saya,!'
Anak perempuan kecil yg kurang lebih berumur 6 tahunan itu langsung berlindung di belaang saya, 'istigfar' pak saya bilang. Dengan konsekwensi terburuk saya akan mendapati masalah besar, karna mkn akan dikira jadi pahlawan kesorean,
Alhamdullilah atas kehendak yg maha kuasa sang bapak istigfar dan sepotong kata keluar dari mulut sang bapak 'andai ibu mu masih ada nak.'
Singkat cerita saya kasi sedikit pemahaman kepada sang bapak, dan ternyata masalah nya sangat sepele karna sang anak tsb menumpahkan air kedalam tempat makanan dagangan bapak nya, yg sepertinya dagangan tsb tidak bisa di jual lagi.
Kemudian saya pun beranjak pergi setelah melihat situasi yg sudah kondusif. Pelajaran apakah yg bisa kita petik? Mkn pelajaran sabar yg harus di ambil dalam masalah ini.
Kasus di atas mengingatkan saya ketika masih kecil, kala itu saya berumur 4tahunan saya tidak pernah ingat tapi ibu telah menceritakan kesaya saat saya sudah menikah dan baru memiliki anak betapa 'nakalnya' saya, kata ibu saya dulu saya pernah, MAAF, pipis di dalam wajan, dimana wajan itu berisikan kue yg terbuat dari singkong parut yg digoreng lalu di beri gula, kalo orang palembang namanya kue gomak, mkn di jawa namanya klenyem.
Perkaranya sepele gara gara saya bangun sekitar subuh dan minta di buatkan susu, ibu berkata sebentar nak, tanpa sadar karna mkn kelamaan saya pipis di wajan yg isinya dagangan ibu.
Betapa sedih ibu saya melihat hal tsb, namun ibu tidak marah kesaya, malah ibu berkata 'maafkan ibu nak gara gara ibu mengabaikan kamu ibu malah di beri cobaan seperti ini oleh Allah'
Apapun alasannya saat itu saya tetap merasa bersalah dan saya merasa sangat berdosa walau saya tidak mengerti apa apa kala itu. "
Bayangkan cerita di masa bocah itu pun bahkan masih terkenang oleh pak rahmat yang sudah "segede hantu".
Ini mirip cerita Arun Ghandi, cucunya Mahatma Ghandi yang terkenal itu, yang bahkan ketika anaknya berbohong orangtuanya malah berkata "pasti ada yang salah dengan cara ayah mendidik kamu sehingga kamu tidak berani mengatakan kebenaran."
Jadi untuk yang mengatakan mustahil untuk sabar, sudah lihatkan masih banyak orang yang masih bisa melakukannya. Tentu saja baik jika digunakan di waktu dan kondisi yang tepat.
Pernah dengar? Ada orangtua berkata "anak saya tak ternilai dan tidak ada harganya, saking bernilai atau berharganya mereka untuk hidup saya."
Tapi jika mereka melukai hati dan tubuh anak hanya gara-gara merusak iphone, laptop, tv, peralatan dapur, karpet mahal, sofa, barang dagangan, maka sesungguhnya ucapan diatas itu hanya basa-basi belaka sebab jika melakukannya, harga anak sesungguhnya jauh lebih rendah daripada benda-benda tadi. @abahihsan
Salam Yuk-Jadi Orangtua Shalih
Silahkan dishare dengan utuh tanpa merubah atau memotong susunan penulisan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar