Minggu, 16 Maret 2014

Nasehat Untuk Pemberi Nasehat


A. Menasehati dengan Lemah Lembut

Syaikh Husain bin Audah al Awaisyah setelah beliau membawakan hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, dari Ubadah bin Syarahbil, ia berkata, "Ketika saya diserang rasa lapar, saya masuk ke salah satu kebun di Madinah. Saya memetik butir-butir gandum. Sebagian saya makan dan sebagian lagi saya bawa dalam pakaian. Tiba-tiba pemilik kebun tadi datang. Ia lalu memukul dan merampas bajuku. Setelah itu saya datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam. Beliau pun berbicara kepada pemilik kebun, "Tidakkah sebaiknya engkau mengajarinya apabila orang itu jahil, dan tidakkah engkau beri makan apabila dia lapar?"Beliau lantas memerintahkan pemilik kebun tersebut untuk mengembalikan pakaianku dan memberiku makanan satu atau setengah pikulan."(HR. Ahmad (4/166-167), Abu Daud ( 1/408-409), Ibn Majah (2/44), Baihaqi (10/2), Ibnu Saad (7/55) dan Al hakim (4/133), ia berkata: "Shahih isnadnya."Disepakati oleh Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani mengatakan: "Seperti apa yang dikatakan oleh keduanya."{Lihat Silsilah Ash Shahihah No. 2229}

Syaikh Husain Al Awayisyah berkata, "Hadits ini membimbing kita untuk bersikap hikmah dan memberi nasehat dengan cara yang baik dalam berdakwah menyeru kepada Allah Ta'ala, serta membimbing kita tentang cara bergaul dengan manusia. Hadits ini membimbing kita agar memberi perhatian kepada manusia yang mempunyai tabiat dan kondisi berbeda-beda. Di samping juga mengingatkan kita akan pentingnya ilmu dan pendidikan sebagaimana dalam sabdanya, "Tidakkah engkau mengajarnya apabila orang itu jahil. Al Imam Ibn Baz rahimahullah berkata:
"Zaman ini zaman berdakwah dengan lemah lembut sabar dan hikmah (bijaksana), bukan zaman (berdakwah dengan) keras. Kebanyakan manusia tidak mengerti, lalai dan lebih mengutamakan dunia maka haruslah sabar, haruslah dengan kelemah-lembutan, sehingga dakwah itu bisa sampai kepada mereka dan mereka dapat mengetahui."(Syaikh Bin Baz) "." (Dikutip dari Buku Surat-surat Cinta, Ustadz Fariq bin Qasim ‘Anuz , Penerbit Darus Sunnah, Jakarta, Cetakan pertama September 2009)

B. Nasehat itu untuk Memperbaiki, bukan untuk Merobek

Sesuai dengan arti bahasa bahwa nasehat itu ‘menjahit’ maka diupayakan nasehat itu bukan untuk ‘merobek-robek’ perasaan apalagi kehormatan orang yang dinasehati. Ustadz Fariq dalam Fikih Nasehat menukil perkataan Imam Ibn Rajab rahimahullah: “Dan dikatakan kata "nasehat"berasal dari "nashaha ar-rajulu tsaubahu (orang itu menjahit pakaiannya), apabila dia menjahitnya, maka mereka mengumpamakanperbuatan penasehat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasehatinya dengan jalan memperbaiki pakaiannya yang robek."

C. Datangilah Aku Wahai Penasehatku...

Al Mujaddid Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah memberi arahan kepada manusia yang ingin memberi nasehat untuk dirinya dengan sebuah syair yang indah:

تَعَمَّدْنِي بِنُصْحِكَ فِي انْفِرَادِي وَجَنِّبْنِي النَّصِيْحَةَ فِي الْجَمَاعَة
فَإِنَّ النُّصْحَ بَيْنَ النَّاسِ نَـوْعٌ مِنَ التَّوْبِيْخِ لَا أَرْضَى اسْتِمَاعَه
وَإِنْ خَالَفْتَنِي وَعَصَيْتَ قَوْلِي فَلَا تَجْزَعْ إِذَا لَمْ تُعْطَ طَاعَـة 

Hendaklah engkau sengaja mendatangiku untuk memberi nasehat ketika aku sendirian
Hindarilah memberikan nasehat kepadaku di tengah khayalak ramai

Karena sesungguhnya memberikan nasehat di hadapan banyak orang
Sama saja memburuk-burukkan, aku tidak suka mendengarnya

Jika engkau menyelisihiku dan tidak menuruti ucapanku
Maka janganlah engkau kesal apabila nasehatmu tidak ditaati

Al Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said Ibnu Hazm rahimahullah (wafat tahun 456) berkata, “ Maka wajib atas seseorang untuk selalu memberi nasehat, baik yang diberi nasehat itu suka ataupun benci, tersinggung atau tidak tersinggung. Apabila engkau memberi nasehat, maka nasehatilah secara rahasia, jangan di hadapan orang lain, dan cukup dengan memberi isyarat tanpa terus terang secara langsung, kecuali apabila orang yang dinasehati tidak memahami isyaratmu, maka harus secara terus terang. Jika engkau melampaui adab-adab tadi, maka engkau orang yang zhalim, bukan pemberi nasehat, dan gila ketaatan serta gila kekuasaan, bukan pemberi amanat dan pelaksana hak ukhuwah. Ini bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan, melainkan hukum rimba, seperti seorang penguasa dengan rakyatnya, dan tuan dengan hamba sahayanya.

Dan tidaklah dikatakan bahwasanya engkau telah menasehatinya dengan ikhlas walapun engkau mendatanginya ketika sendirian jika engkau sebarkan aib saudaramu kepada manusia dengan mengatakan, “Si Fulan telah melakukan ini dan itu kemudian saya telah menasehatinya.” Jika demikian keadaannya maka engkau telah melakukan ghibah yang dicela syariat.. demikian faidah dari penjelasan Syaikh Husain Al Awayisyah dalam Al Ghibah. (Diringkas dari Fikih Nasehat Ustadz Fariq bin Qasim Anuz, Darus Sunnah Jakarta, Cetakan kedua Oktober 2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar