Fathimah Binti Al-Mundzir
Asma radhiyallahu ‘anha adalah sosok yang dikenal dalam sejarah Islam, tidak saja karena dia adalah anak dari Abu Bakar as-Siddiq radhiayallahu ‘anhu dan saudari Aisyah radhiyallahu ‘anha, akan tetapi dia juga adalah isteri yang taat dari sahabat Zubair ibn al-Awwam radhiayallahu ‘anhu. Perannya dalam membantu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keteladanan dalam pengorbanan dan kesabarannya akan tetap hidup dalam satu kurun sejarah Islam. Dia diberi nama Dzaatun Niataqain (wanita dengan dua ikat pinggang. Asma radhiyallahu ‘anha memiliki satu ikat pinggang yang akhirnya dirobeknya menjadi dua, dan salah satunya digunakan untuk mengikat bekal makanan dan yang satu lagi dipakai sebagai ikat pinggang.) karena peristiwa yang dialaminya dimana dia menggunakan dua ikat pinggang untuk mengikat makanan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ayahnya Abu Bakar radhiayallahu ‘anhu. Keduanya telah meninggalkan Makkah dan dikejar oleh musuh-musuh (Quraisy). Adalah tugas Asma radhiyallahu ‘anha untuk membawakan makanan itu bagi mereka secara rahasia; dalam keadaan hamil tua dia memanjat gunung Tsur.
Bagi mereka yang tidak terbiasa dengan gunung ini, cukup bagimu mengetahui bahwa bahkan orang muda akan terengah-engah mendaki jalannya yang berbatu. Apa yang
mendorong Asma radhiyallahu ‘anha, dengan kehamilannya, menempuh perjalanan yang berbahaya itu? Tidak lain karena cinta yang mendalam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ayahnya. Selanjutnya ketika Abu Jahal datang ke rumah Abu Bakar radhiayallahu ‘anhu, dengan penuh dendam dan amarah bertanya kepada Asma radhiyallahu ‘anha dimana ayahnya dan Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam berada. Berdiri tegar, dengan iman yang mengalir di sekujur nadinya, dia mengatakan bahwa dia tidak mengetahuinya. Abu Jahal menampar pipinya; dan dia tetap tegar berdiri tanpa menyerah, dengan hati yang dipenuhi cinta kepada agama ini.
Kecintaannya tidak berakhir dengan wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaliknya dia menyalakan kecintaan yang mendalam ini ke dalam hati anak-anak dan cucu-cucunya. Salah seorang cucunya yang mengambil manfaat yang sangat besar dari kebersamaan dengannya tidak lain adalah Fatima binti al- Mundzir rahimahallah. Allah telah memilih Fatimah menjadi sebuah cahaya yang namanya bersinar – bahkan hingga hari ini, di kitab-kitab hadits. Fatimah binti al-Mudnzir rahimahallah dipandang sebagai salah satu Tabi’at yang utama di masanya. Dia adalah seorang ulama besar dan dikenal sebagai seorang Faqihah dan menikah dengan saudara sepupunya, Hisyam ibn Urwah ibn az-Zubair. Hisyam juga seorang ulama besar dan seorang perawi hadits. Beberapa diantara murid-mudirnya yang utama adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Syu’bah dan Sufyan ats-Tsauri.
Meskipun mereka berdua bersepupu, Hisyam tidak mendapatkan banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Asma radhiayallahu ‘anha seperti yang diperoleh Fatimah. Oleh karena itu dia bertanya kepada isterinya dan belajar darinya perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menghafalkannya dan kemudian menyampaikannya kepada para sahabat dan murid-muridnya, dari apa yang diajarkan isterinya. Banyak yang telah meriwayatkan dari Fatimah, seperti Ibnu Ishak (penulis buku sirah yang terkenal) dan yang lainnya. Akan tetapi Hisyam merupakan orang yang paling utama dalam meriwayatkan hadits langsung dari Fatimah rahimahalllah.
Berikut ini hanyalah beberapa contoh dalam kitab hadits utama, dimana Hisyam meriwayatkan dari Fatimah:
1. Hisyam meriwayatkan dari isterinya Fatimah, dari neneknya Asma bahwa dia berkata: Seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata,”Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku mempunyai anak perempuan yang akan menjadi pengantin. Ia pernah terkena penyakit campak sehingga rambutnya rontok. Bolehkan aku menyambungnya (dengan rambut lain)?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah mengutuk wanita yang menyambungkan rambut seorang wanita dengan rambut lain dan wanita yang meminta disambungkan rambutnya.”
Hadits ini diriwyatkan dalam:
Shahih Bukhari
Shahih Muslim
An-Nasa’i
Ibnu Majah
2. Hisyam berkata: Fatimah meriwayatkan kepadaku dari Asma bahwa dia berkata: “Kami memakan daging salah satu kuda kami di masa Nabi s.“
Hadits ini diriwayatkan dalam:
Shahih al-Bukhari
Shahih Muslim
An-Nasa’i
Ibnu Majah
3. Hisyam meriwayatkan dari Fatimah dari Asma bahwa ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku: “Berinfaklah atau memberilah dan jangan menghitung-hitung, karena Allah akan memperhitungkannya untukmu.”
Hadits ini diririwayatkan dalam:
Shahih al-Bukhari
Shahih Muslim
An-Nasa’i
4. Hisyam juga meriwayatkan hadits yang panjang darinya dalam Shahih Bukhari dan Muslim mengenai Shalat Gerhana.
Bagi sebagian ulama Islam terkemuka seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim, mencatat hadits dimana:
1. Wanita meriwayatkan hadits
2. Seorang laki-laki meriwayatkan dari isterinya
Hal ini menyimpan pelajaran besar bagi orang-orang yang mengatakan bahwa para ulama Islam hanya memperhitungkan laki-laki dan mengesampingkan wanita. Sebaliknya, kitab yang dipandang sebagai sumber ilmu Islam yang memuat hadits-haditsyang paling terpercaya, di dalam sanadnya terdapat nama-nama para wanita.
Bahkan ini cukup sebagai contoh bahwa laki-laki dapat meriwayatkan dari isterinya tanpa perlu merasa malu. Jika bukan karena Hisyam yang belajar dari Fatimah, yang belajar dari Asma radhiyallahu ‘anha, kita mungkin tidak dapat menarik manfaat dari mutiara hikmah yang indah ini, yang diambil dari lautan Kenabian (yakni hadits-hadits Nabawiyah yang diriwayatkan Fatimah dari Asma-pent.).
bersambung...
~WAHANA BELAJAR UNTUK YANG BERJIWA HANIF~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar