Seperti kita telah ketahui bahwa harta haram itu ada dua macam sebagaimana dibagi oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu
(1) harta yang haram karena zatnya seperti bangkai, daging babi, dan darah; dan
(2) harta dari pekerjaan haram seperti dari riba, jual beli yang mengandung unsur ghoror atau ketidakjelasan dan jual beli dengan melakukan tindak penipuan. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 21: 56-57.
Dan ada kaedah penting tentang harta haram jenis kedua yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin,
أن ما حُرِّم لكسبه فهو حرام على الكاسب فقط، دون مَن أخذه منه بطريق مباح.
“Sesuatu yang diharamkan karena usahanya, maka ia haram bagi orang yang mengusahakannya saja, bukan pada yang lainnya yang mengambil dengan jalan yang mubah (boleh)” (Liqo’ Al Bab Al Maftuh, kaset no. 2)
Jadi ahsan, bila memang jelas-jelas diketahui sumber pendanaan untuk mengelola usaha dari hasil riba, maka ahsan ditinggalkan saja... Karena hal yang terkait dengan riba bukan saja efeknya secara langsung bersentuhan dgn transaksinya jg termasuk para saksinya juga.
Para ulama menjelaskan bahwa memakan harta dari sumber berpenghasilan yang haram, maka perlu dirinci sebagai berikut:
1- Jika seluruh sumber pendapatan berasal dari penghasilan yang haram, maka tidak boleh seseorang menikmati penghasilan tersebut jika penghasilannya berasal dari harta haram seluruhnya atau mayoritasnya.
2- Jika seseorang dalam keadaan terpaksa memanfaatkan penghasilannya dan tidak ada cara lain untuk mencukupi kebutuhannya maka tidaklah mengapa memakan harta seperti itu dan dosa ketika itu untuk yg bersangkutan saja. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 173).
Yang dimaksud keadaan darurat di sini adalah menurut sangkaan seseorang bisa binasa atau tidak bisa memikul kesulitan. Keadaan darurat boleh membolehkan sesuatu yang diharamkan, namun sesuai kadarnya. Dalam ilmu kaedah fikih disebutkan,
وَ كُلُّ مَحْظُوْرٍ مَعَ الضَّرُوْرَةِ
بِقَدْرِ مَا تَحْتَاجُهُ الضَّرُوْرَة
Setiap larangan boleh diterjang saat darurat,
Namun sekadar yang dibutuhkan untuk menghilangkan darurat.
Artinya jika mengkonsumsi harta dari penghasilan haram tadi sudah menghilangkan bahaya atau mendapati penggantinya, maka memakan yang haram tadi dijauhi.
Jadi kesimpulannya, jika masih bisa ditinggalkan itu akan lbh baik..
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar