JURUS JITU MERAIH TAWADHU'
Ketahuilah wahai hamba Allah yang senantiasa berusaha untuk tawadhu’, sesungguhnya tawadhu’ adalah akhlak mulia yang meliputi banyak sekali kebaikan. Tawadhu’ adalah tunduk dan patuh terhadap otoritas kebenaran, serta kesediaan menerima kebenaran itu dari siapapun yang mengatakannya, baik dalam keadaan ridha maupun marah.
Tawadhu’ adalah merendahkan hati dan santun terhadap sesama.
Tawadhu’adalah engkau tidak melihat dirimu memiliki nilai lebih dibandingkan hamba Allah yang lainnya.
Tawadhu’ adalah engkau tidak melihat orang lain membutuhkanmu.
Tawadhu’ terdiri dari dua macam:
1. Tawadhu’ yang terpuji
2. Tawadhu’ yang tercela
Tawadhu yang terpuji adalah sikap merendahkan diri kepada Allah dan tidak berbuat semena-mena atau memandang remeh terhadap sesama.
Adapun tawadhu’ yang tercela adalah sikap merendahkan diri di hadapan orang kaya dengan harapan mendapat sesuatu darinya.
Oleh karena itu orang yang berakal harus senantiasa menghindari tawadhu’ yang tercela dalam kondisi apa pun. Ia harus senantiasa melakukan tawadhu’ yang terpuji dalam tiap aspeknya.
Tingkatan Tawadhu’
1. Tawadhu’ dalam agama yaitu tunduk kepada apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni perkara din –red) dan patuh terhadapnya. Hal ini dapat dilakukan dengan tiga perkara;
a. Hendaknya tidak menentang sedikitpun apa yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan empat macam penentangan yang biasa dilakukan yaitu dengan akal, qiyas, perasaan, dan politik. (yakni beranggapan syariat Islam itu ada yang bertentangan dengan akal, qiyas, perasaan, dan politik –red)
b. Janganlah menuduh satu dalil pun dari dalil-dalil agama dengan menganggapnya tidak tepat, tidak relevan, kurang atau terbatas.
c. Jangan pernah berpikir untuk menyangkal nash, baik di dalam bathin, lisan maupun perbuatan.
2. Tawadhu’ kepada sesama makhluk. Terdapat tiga makna, yaitu:
a. Ridha untuk menjadikan seseorang –dari kaum Muslimin– sebagai saudaramu, karena allah telah ridha kepadanya untuk menjadi hambaNya. Apabila Allah telah meridhai saudaramu sesama Muslim sebagai hamba, apakah engkau tidak meridhai dirinya sebagai saudaramu? Mengapa engkau tidak meridhainya sebagai saudaramu, padahal dia sudah diridhai Rabbmu sebagai hamba. Mengapa anda masih tidak menganggapnya sebagai saudaramu? Ini benar-benar merupakan bentuk kesombongan.
b. Tidak menolak kebenaran yang datang dari musuhmu. Selayaknya bagi anda wahai hamba Allah yang tawadhu’, untuk mau menerima kebenaran, baik dari orang yang anda suka maupun yang anda benci. Bahkan anda harus sudi menerima kebenaran dari musuhmu sebagaimana anda mau menerimanya dari orang terdekatmu. Ketahuilah bahwa hakekat tawadhu’ adalah menerima kebenaran apabila datang kepadamu, dan menunaikan kebenaran itu jika ia memiliki hak atasmu.
c. Menerima maaf dari orang yang meminta maaf. Apabila ada yang pernah berbuat jahat kepadamu lalu dia datang untuk meminta maaf, sikap tawadhu’ mengharuskanmu untuk mau memaafkannya, tak peduli apakah permintaan maafnya itu benar-benar datang dari hatinya atau hanya pura-pura. Tentang apa yang tersimpan dalam hatinya serahkanlah kepada Allah. Jika engkau melihat cacat pada permintaan maafnya, janganlah menghentikan usahanya tersebut dan janganlah mendebatnya, namun katakanlah: “Mungkin urusannya seperti yang engkau katakan: ‘Sungguh sesuatu jika telah ditakdirkan pasti akan terjadi dan kita tidak akan dapat melarikan diri dari takdir.’”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْمُؤْمِنُ غِرٌّ كَرِيْمٌ وَالْفَاجِرُ خَبٌّ لَئِيْمٌ
“Orang beriman itu sering ditipu karena kemurahan budinya, sedangkan orang durjana suka menipu lagi kikir (Riwayat Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 418, Abu Dawud no. 407,Tirmidzi no. 1964, al Hakim I/ 43 dan lainnya)
Yang dimaksud اَلْغِرُّ adalah yang ditipu karena kepatuhan dan kepolosannya, kurang memahami kejahatan, meninggalkan sikap suka menyelidiki aib orang lain, dan itu dilakukan bukan karena ketidaktahuannya, tapi karena dia orang yang pemurah dan berakhlak baik.
Keutamaan Tawadhu’
1. Tawadhu’ dapat mengangkat derajat seorang hamba.
2. Tawadhu’ dapat meninggikan kedudukan seorang hamba.
3. Tawadhu’ itu menghasilkan keselamatan, mendatangkan persahabatan, menghapuskan dendam, dan menghilangkan pertentangan.
Perkara-perkara yang menunjukkan kepada perilaku tawadhu’
1. Tunduk kepada kebenaran. Ini adalah ciri pokok tawadhu, yakni tidak terdapat keinginan di dalam dirinya untuk menentang kebenaran. Orang yang tawadhu’ taat mutlak kepada kebenaran dan merealisasikan ketaatan kepada Allah.
2. Menghormati orang lain. Orang yang berakal jika melihat orang yang lebih tua darinya ia akan bersikap tawadhu’ dan berkata, “Dia telah mendahuluiku memeluk agama Islam.” Apabila melihat orang yang lebih muda umurnya darinya dia pun tetap tawadhu’ dan berkata, “Aku tellah mendahuluinya dalam hal mengumpulkan dosa.”
3. Sederhana dalam berjalan. Allah berfirman yang artinya “ Dan hamba-hamba Rabb Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati.” (Al Furqan:63) yaitu maksudnya ketenangan, kewibawaan, tawadhu’, tidak congkak, tidak berbangga-bangga, dan tidak pula sombong.
4. Rendah hati dan lemah lembut kepada sesama. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman yang artinya “... yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang beriman...” (Al Maidah:54) Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Dan rendahkanlah hatimu terhadap orang-orang yang mengikutimu yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy Syu’ara: 215)
(Diringkas dari Hakikat Tawaddu’ dan Sombong Menurut Al Qur-an dan as Sunnah, Syaikh Salim Al Hilali, Pustaka Imam Asy Syafi’i, Jakarta, Januari 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar