Rabu, 23 April 2014

Takwa Dan Akhlak

TAKWA ITU BERKAITAN ERAT DENGAN AKHLAK

Sebagian orang menyangka bahwasanya yang dinamakan dengan ketakwaan adalah hanyalah menjalankan dan menunaikan hak-hak Allah tanpa memperhatikan hak-hak hamba-hambaNya. Mereka menyangka bahwasanya penerapan ajaran agama hanya terbatas pada bagaimana hubungan dengan Allah (dalam menunaikan hak-hak Allah) tanpa memperhatikan bagaimana berakhlak mulia terhadap hamba-hambaNya. Akhirnya mereka benar-benar melalaikan penunaian hak-hak hamba-hamba Allah, kalau tidak secara total minimal mereka kurang dalam menunaikan hak-hak para hamba Allah yang hal ini mengantarkan mereka menjadi orang-orang yang menggampang-gampangkan perbuatan dzolim teradap sesama mereka. 

Berkata Ibnu Rojab Al-Hambali tatkala mengomentari hadits Rasulullah:

اِتَّقِ اللّهَ حَيثُمَا كُنتَ وَأَتبِعِ الِّيئَةَ الحَسَنَةَ تَمحُهَا وَخَالِقِ النَاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah engkau kepada Allah kapan dan dimana saja engkau berada, dan ikutilah suatu kejelekan dengan perbuatan baik maka kebaikan tersebut akan menghapus kejelekan tersebut, serta pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”. [HR. At-Tirmidzi (IV/355 no. 1987), Ahmad (V/153 no. 21392), dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahihul jaami’ no. 97].

Dan sabda Nabi :
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”

Ini merupakan salah satu bentuk ketakwaan dan tidak akan sempurna ketakwaan kecuali dengan hal ini. Akan tetapi Rasulullah menyendirikan penyebutannya karena perlu untuk menjelaskannya. Metode seperti ini dikenal di kalangan ulama dengan metoda ذِكْرُ الخَاصِ بَعدَ العَامِ ”Penyebutan itu sesuatu yang khusus setelah penyebutan sesuatu yang umum” yang fungsinya untuk menunjukkan keutamaan sesuatu yang khusus tersebut, padahal yang khusus tersebut telah termasuk dalam keumuman yang disebutkan sebelumnya. Kita mengetahui bersama bahwasanya akhlak yang mulia termasuk dari ketaqwaan, namun Nabi menyendirikan penyebutannya setelah penyebutan ketakwaan untuk menunjukkan pentingnya akhlak yang mulia. Metode ini sebagaimana dalam firman Allah: 
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُواْوَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ 
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh” [Qs. Yunus : 9], disendirikannya penyebutan “amal sholeh” untuk menunjukkan pentingnya amal sholeh, padahal amal sholeh jelas merupakan keimanan. Hal ini sebagaimana jika seseorang berkata, “Telah datang para ulama dan Syaikh bin Baz”, adalah untuk menunjukkan keutamaan syaikh bin Baz, padahal beliau termasuk ulama.

Karena banyak orang yang menyangka bahwa ketakwaan itu adalah menjalankan hak-hak Allah tanpa (menjalankan atau memperhatikan) hak-hak hamba-hambanNya. Maka Rasulullah me-nas-kan (memberikan nas atau dalil -red) hal ini untuk berakhlak yang baik terhadap manusia. Nabi telah mengutus Mu’adz ke negeri Yaman sebagai pengajar bagi penduduk Yaman, juga sebagai orang yang akan menjelaskan hukum-hukum agama bagi mereka serta sebagai hakim di antara mereka. Barangsiapa yang seperti ini maka ia butuh kepada akhlak yang baik tatkala berinteraksi dengan masyarakat.

Tidak sebagaimana orang lain yang tidak dibutuhkan oleh masyarakat dan tidak berinteraksi dengan masyarakat. Orang-orang yang telah memberikan perhatian mereka dalam menjalankan hak-hak Allah, senantiasa untuk cinta, takut, dan taat kepadaNya, mereka sering diliputi dengan sikap melalaikan hak-hak para hamba, baik secara total atau kurang dalam menunaikan hak-hak tersebut.

Menggabungkan antara menjalankan hak-hak Allah dan hak-hak hamba-hambaNya merupakan perkara yang sulit sekali, tidak ada yang bisa melaksanakannya kecuali orang-orang yang sempurna dari kalangan para nabi dan para siddiiq” [Jaami’ul Ulum wal Hikam I/212].
Dan sesungguhnya engkau akan kaget jika melihat sebagian orang yang sangat bersemangat untuk menjalankan syi’ar-syi’ar ibadah serta sangat memperhatikan penampilan luar mereka dengan syari’at, bahkan seperti sholat sunnah, puasa sunnah, tilawah Al-Qur’an, dan yang lainnya, namun mereka tidak memberikan tempat yang mulia bagi akhlak yang mulia. Oleh karena itu –sungguh sangat disayangkan- engkau dapati pada sebagian mereka mengalir sikap dengki, hasad, ujub (kagum dengan diri sendiri), merasa tinggi dihadapan yang lain, perbuatan dzolim, permusuhan, pertikaian, saling menghajr, dusta, saling berolok-olok, menyelisihi janji, tidak membayar hutang (meskipun sebenarnya ia mampu), tidak amanah, tenggelam dalam membicarakan aib-aib saudara-saudara mereka, tatabbu’ (mencari-cari) kesalahan-kesalahan saudara-saudara mereka, dan yang lain sebagainya. Yang hal ini sangat kontradiksi dengan penampilan luar mereka yang menunjukkan akan perhatian yang besar dari mereka untuk menjalankan sunnah-sunnah Nabi.

Kita dapati sebagian mereka tatkala melihat ada seseorang yang isbal (menjulurkan sarung atau celana hingga melebihi mata kaki) yang hal ini jelas-jelas menyelisihi sunnah Nabi maka mereka pun serta merta mengingkari dengan keras, bahkan sebagian mereka terlalu berlebih-lebihan sehingga menjadikan hal ini sebagai standar untuk mengukur sesat atau tidaknya seseorang tanpa memperhatikan apakah orang yang isbal itu memiliki syubhat ataukah orang yang tidak tahu pengharaman isbal. Namun di lain pihak jika mereka melihat seseorang sedang menggibahkan saudara mereka atau memperolok-oloknya maka tidak ada sama sekali pengingkaran ini, padahal yang namanya ghibah orang awam pun mengetahui akan keharamannya.

Seakan-akan mereka menganggap bahwa mu’amalah terhadap sesama saudara mereka bukanlah suatu agama, atau orang yang berakhlak mulia tidak mendapatkan ganjaran pahala yang besar. Seakan-akan pahala hanya terbatas pada tidak isbal dan memanjangkan jenggot.

Atau seakan-akan perbuatan dzolim terhadap manusia yang lain bukanlah sesuatu yang berarti. Padahal perbutan dzolim kepada sesama hamba lebih berat dan bahaya jika dibandingkan dengan perbuatan dzolim seorang hamba terhadap dirinya sendiri karena hak-hak para hamba dibangun di atas qisos adapun hak-hak Allah dibangun di atas kemudahan dan pema’afan. Barangsiapa yang berbuat kesalahan yang berkaitan dengan hak-hak Allah maka mudah baginya kapan saja untuk beristighfar dan meminta ampunan kepada Allah dan Allah akan mengampuninya. Akan tetapi jika ia mendzolimi manusia yang lain maka tidak ada yang menjamin bahwa orang tersebut akan merelakan haknya, tidak ada yang menjamin bahwa orang tersebut akan menghalalkannya dan mema’afkannya. Bahkan pada hak-hak para hamba tergabung dua hak yaitu hak hamba dan hak Allah karena Allah tidak ridho terhadap perbuatan dzolim.

(Dari: Dari Madinah Ke Rodja, Ustadz Firanda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar