Rabu, 07 Mei 2014

Perhatian Ulama Dalam Membaca

Perhatian Ulama Dalam Membaca
 “Tulisan ini menjelaskan kepada kita aspek penting pembangunan ilmiah dan landasan dalam perluasan pengetahuan. Tulisan ini juga mengungkapkan sebuah potret cemerlang kehidupan para ulama. Mereka memberi contoh paling baik, bukti paling benar, dan petunjuk paling nyata atas kecintaan dan semangat mereka terhadap ilmu serta dedikasi mereka dalam rangka mendapatkannya.

Contoh dan bukti mengenai hal ini sangat banyak dan beragam. Saya pilih diantaranya tentang kehidupan para ulama bersama buku-buku mereka yaitu bagaimana perhatian mereka terhadap buku, bagaimana mereka mendapatkannya dan semangat serta kesungguhan mereka terhadap buku. Buku selalu menemani mereka baik ketika bepergian maupun ketika berada di rumah, mereka selalu berada dalam kondisi yang mengagumkan. Sangat menakjubkan!!!

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan: “Kerinduan para penuntut ilmu terhadap ilmu itu lebih besar daripada kerinduan seseorang terhadap kekasihnya. Kebanyakan mereka tidak terpesona dengan keelokan fisik manusia.” Beliau juga berkata, “Seandainya ilmu itu bisa digambarkan, tentu ia lebih indah daripada matahari dan rembulan.”

Saya katakan, “ Jika demikian bagaimana mungkin orang yang mencintai ilmu akan menjadi hina? Mengapa harus heran terhadap mereka yang mendedikasikan diri untuk ilmu?”
Mayoritas manusia mengetahui bahwa ilmu itu mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia begitu pula dengan orang yang memilikinya. Semua itu akan bertambah seiring dengan keluhuran ilmu dan keluasan pengetahuan tentangnya serta pengaruh ilmu tersebut terhadap pemiliknya.

Ketika keutamaan ilmu telah nyata kita tidak perlu lagi menunjukkan bukti dan dalil atas ketinggian dan pengaruh positifnya. Semua itu telah terangkum di dalam berbagai buku.

Ada dua alasan mengapa saya menyusun dan mengarang buku ini:

Pertama: Saya melihat para pelajar enggan menempatkan kitab-kitab ilmu pada tempatnya. Mereka menurunkan dari kedudukannya dan sibuk dengan yang lainnya.

Sebagian mereka menyangka bahwa dirinya telah berilmu sehingga tidak perlu membaca dan menelaah. Mereka merasa telah cukup dengan gelar, ijazah, pangkat dan jabatan yang diraih. Tujuannya hanya meraih gelar sehingga menolak mencari ilmu Namun demikian mereka mengklaim sebaliknya. Mereka mengatakan, “Biarlah kami meraih gelar dulu, setelah itu baru kami akan sungguh-sungguh mencari ilmu.” 

Mengapa mereka justru malah terbalik?! Andai saja mereka mencukupkan sampai di sini!!! Namun sayang mereka justru malah bersantai-santai di atas sofa sambil membentangkan bantal. Mereka berperangai buruk terhadap manusia, menarik diri dari mencari ilmu dan berbalik mengejar dunia sehingga gelar pun menipu mereka. Kedua: Motivasi untuk menulis buku ini adalah untuk membangkitkan semangat, mengasah pikiran, dan membuka cakrawala para penuntut ilmu mengenai kehidupan para ulama dan imam generasi salafush shalih tentang kesabaran dan keseriusan mereka dalam mendapatkan ilmu dan mengajarkannya.

Tidak diragukan lagi bahwa contoh-contoh kehidupan para ulama mempunyai pengaruh dalam membangkitkan dan membangun semangat. Terbukti dengan adanya manfaat yang nyata saat mengetahui metode mereka dalam membaca dan menelaah serta saat merenungkan pengalaman dan eksperimen mereka dalam mendapatkan metode yang paling utama. Ini bukan hanya sanjungan ataupun berbangga bangga dengan mereka. Namun ini adalah mengungkap sejarah kita yang mulia. Mudah-mudahan dengan diungkapkannya kehidupan para ulama dapat membangkitkan cita-cita yang lesu dan mengobarkan api semangat yang telah redup. Karena sebagian ulama telah mengatakan, “Kisah adalah tentara Allah yang meneguhkan hamba-hambaNya yang Dia kehendaki.”

Orang yang memperhatikan perjalanan hidup para ulama akan mendapatkan berbagai fakta penting dan kesimpulan yang jelas. Salah satunya adalah pemahaman para ulama terhadap nilai kekayaan yang agung yakni buku dan simpananan yang berharga yakni ilmu. Oleh karena itulah para ulama menjadikan kekayaan dan simpanan ini sebagai prioritas utama dengan penuh perhatia dan kesungguhan. Keragaman bentuk perhatian dan kesungguhan mereka terhadap buku dan ilmu akan dibahas dalam buku ini.

Apabila kita berhasil mencetak orang-orang yang gemar membaca, maka segala macam ilmu akan menyertai mereka.

 [Indikator Cinta Ilmu adalah Mencintai Buku]

Al Jahizh dalam Al Hayawan mengatakan, “Barangsiapa yang ketika membeli buku tidak merasa nikmat melebihi nikmatnya membelanjakan harta untuk orang yang dicintai, atau untuk mendirikan bangunan berarti dia belum mencintai ilmu. Tidak ada manfaatnya harta yang dibelanjakan hingga dia lebih mengutamakan untuk membeli buku. Seperti orang Arab Badui yang lebih mengutamakan susu untuk kudanya daripada untuk keluarganya. Hingga di ajuga sangat berharap untuk memperoleh ilmu seperti halnya orang Arab Badui yang sangat mengharapkan kudanya.”

[Salah satu cara menambah ilmu adalah memperbanyak buku]
Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm (wafat tahun 456H) menyebutkan pilar-pilar penopang ilmu dalam Risalah Maratib al ‘Ulum. Di antaranya adalah, “Memperbanyak buku. Sebab, tidak ada buku yang tidak bermanfaat dan tidak ada buku yang tidak menambah ilmu yang bisa diperoleh seseorang apabila dia memang membutuhkannya. Manusia tidak akan mampu menghapal semua ilmu yang pernah dipelajarinya. Jika kenyataannya demikian maka buku menjadi sarana penyimpan ilmu paling baik baginya.”

Seandainya tidak ada buku, tentu hilanglah banyak ilmu dan tidak akan terpelihara. Di sinilah kesalahan orang yang mencela upaya memperbanyak buku. Kalau saja pendapatnya itu dituruti niscaya lenyaplah banyak ilmu. Kemudian orang-orang bodoh memaksa ummat manusia untuk melenyapkan ilmu dan mendakwakan hawa nafsu mereka. Kalau saja tidak ada bukti atau kesaksian dari buku pastilah klaim orang alim dan orang jahil akan dipandang sama.”

[ Jawaban Yang Meredam Kritikan ]

 Para ulama telah meredam kritikan orang-orang yang mengkritik ulama karena memperbanyak dan membelanjakan hartanya untuk buku. Salah satunya dalam bentuk syair oleh Sulaiman bin Abdul Hamid salah seorang guru Al Hafidz Ibn Hajar Al Asqolani. Beliau berkata:
Dia berkata : Engkau telah membelanjakan hartamu
Untuk buku yang berada pada tangan kananmu
Aku berkata: Biarkanlah aku...
Semoga kutemukan satu buku yang memberi petunjuk kepadaku
Sehingga nanti kuambil catatan amalku dengan tangan kananku
 [Ilmu yang Diwariskan Nabi shallallahu alaihi wa sallam]
Ayat al Qur-an yang pertama kali turun, yaitu firman Allah Ta’ala yang artinya
“Bacalah dengan menyebut nama Rabbmu yang menciptakan (Al ‘Alaq:1)
Kata ‘Iqra’ Mengandung banyak petunjuk dan maksud yang tidak bisa dibatasi. Kata Iqra merupakan kata perintah dari kata Qoro’a. Maksudnya adalah perintah yang pasti dan tegas untuk membaca juga motivasi untuk belajar dan mengajar membaca. Pandangan ini cukup untuk membicarakan banyak hal dalam tema berikut. 

Selain ayat tadi terdapat perintah Al Qur-an dalam ayat lain sebagai penegasan masalah dan motivasi agar minta tambahan ilmu. Allah Ta’ala berfirman: Thaha: 114)
“Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."

 Ibnul Qoyyim berkata, “Ayat ini cukup sebagai bukti kemuliaan ilmu. Yaitu Allah memerintahkan Nabi-Nya agar meminta tambahan ilmu.”

Di dalam tafsirnya, Ibn Katsir menyatakan, “Maksudnya adalah tambahkanlah untukku ilmu dari-Mu.” Ibnu Uyainah rahimahullah menuturkan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selalu memohon kepada Allah agar ditambah ilmunya hingga beliau wafat.”

 Demikian pula para Nabi dan rasul alaihimus salam meminta tambahan ilmu sekaligus menuntut ilmu. Hal yang sama dilakukan oleh umat terbaik yakni para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.

[Teladan Ulama Terdahulu Dalam Masalah Buku]

Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah
Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam Raudhah Al Muhibbin menuturkan bahwa gurunya Ibnu Taymiyyah pernah bercerita, “Saya tertimpa sakit maka dokter berkata kepadaku ‘Sesungguhnya aktivitasmu dalam menelaah dan membicarakan ilmu memperparah penyakitmu.’ Saya pun berkata kepadanya “Saya tidak sabar melakukan hal itu. Saya akan menerangkan kepadamu dengan ilmumu. Bukankah jika jiwa itu bergembira dan bahagia, maka tabiatnya kuat sehingga mampu menolak penyakit?” Dokter itu menjawab, ‘Ya’. Kemudian saya berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya jiwaku bahagia dengan ilmu sehingga menjadikannya kuat dan tenteram.’ Maka dokter itu berkata, ‘Jika demikian maka ini di luar pengobatan kami.’

Ibnul Jauzy ( wafat 597) membaca 200.000 jilid buku

Saat membahas Shaidul khatir Ibnul jauzy berkata menceritakan dirinya, “Aku tidak pernah kenyang membaca buku. Jika menemukan buku yang belum pernah aku lihat maka seolah-olah aku mendapatkan harta karun. Aku pernah melihat katalog buku-buku wakaf di madrasah An Nidhamiyyah yang terdiri dari 6.000 jilid buku. Aku juga melihat katalog buku Abu Hanifah, Al Humaidi, Abdul wahhab bin Nashir dan yang terakhir Abu Muhammad bin Khasysyab. Aku pernah membaca semua buku tersebut serta buku lainnya. Aku pernah membaca 200.000 jilid buku lebih. Sampai sekarang aku masih terus mencari ilmu.” Ibnul jauzy menasehati orang alim dan pencari ilmu, “ Sebaiknya anda mempunyai tempat khusus di rumahmu untuk menyendiri. Di sana kamu bisa membaca lembaran-lembaran bukumu dan menikmati indahnya petualangan pikiranmu.”

Ahmad bin Sulaiman Nasrullah Al Bulqasi
Dikisahkan bahwa beliau membaca sambil berjalan. Ketika sedang makan dia minta orang lain membacakan untuknya karena takut waktunya terbuang sia-sia untuk urusan selain belajar.

Alhamdulillah.

Dikutip dari “Gila Baca Ala Ulama: Menilik dan Meneladani para Ulama Dalam Menuntut Ilmu” karya Ali bin Muhammad Al ‘Imran penerbit Pustaka Arafah Surakarta cetakan 1, Mei 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar