SEKILAS TENTANG JIMAT/ WAFAK
“Untuk memperoleh pemahaman yang benar dalam pembahasan mengenai jimat atau tamimah, maka hal ini sangat tergantung dengan pemahaman tentang hukum-hukum dalam mengambil sebab. Yang dimaksud dengan mengambil sebab di sini adalah seseorang melakukan suatu usaha (“sebab”) untuk dapat meraih apa yang dia inginkan.
Ada tiga hal yang harus diketahui oleh seseorang terkait dengan pengambilan sebab, yaitu:
1. Sebab yang diambil harus terbukti secara syar’i atau qadari.
Secara syar’i maksudnya adalah al Qur-an dan As Sunnah telah menunjukkan bahwa sesuatu tersebut memang merupakan penyebab terjadi atau tidak terjadinya sesuatu tersebut.
Contohnya adalah amal shaleh merupakan sebab untuk masuk surga. Demikian pula dengan bertakwa yang merupakan sebab untuk mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan urusan dan sebab untuk mendapatkan kelapangan rizqi. Karena Allah berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
“Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya” (Ath Thalaq : 2-3)
Secara qadari maksudnya bahwa sunnatullah, pengalaman, atau penelitian ilmiah menyatakan bahwa sesuatu tersebut merupakan sebab yang menyebabkan terjadinya atau tidak terjadinya sesuatu yang lain.
Contoh:
• Makan merupakan sebab untuk kenyang.
• Berkendaraan adalah sebab untuk mempercepat perjalanan untuk mencapai tujuan.
• Memakai jaket merupakan sebab untuk melindungi diri dari pengaruh angin, dan lain-lain.
Sebab yang terbukti secara qadari ini terbagi menjadi dua macam, yaitu yang halal dan haram.
• Contoh sebab yang halal: belajar agar menjadi pintar.
• Contoh sebab yang haram: korupsi agar mendapatkan harta yang banyak.
2. Hatinya tetap bergantung kepada Allah, bukan kepada sebab tersebut
Maksudnya ketika mengambil sebab tersebut hatinya senantiasa bertawakkal memohon pertolongan kepada Allah demi berpengaruhnya sebab tersebut. Hatinya tidak condong kepada sebab tersebut, sehingga menyebabkan hatinya justru merasa tenang kepada sebab dan bukan kepada Allah. Contoh:
• Seseorang yang merasa pasti akan berhasil ketika telah memperhitungkan segala sesuatu dan segala kemungkinan yang akan terjadi, maka ada indikasi bahwa dia telah bersandar kepada sebab.
• Seseorang yang merasa kecewa berat atas sebuah kegagalan, padahal dia sudah mengambil sebab sebaik-baiknya, maka ada indikasi bahwa dia telah bersandar kepada sebab.
3. Tetap memiliki keyakinan bahwa betapa pun hebatnya keampuhan sebuah sebab, namun berpengaruh atau tidaknya sebab tersebut tergantung hanya kepada taqdir Allah.
Artinya jika Allah menghendaki sebab itu berpengaruh sebagaimana sunnatullahNya, maka sebab itu akan menimbulkan pengaruhnya. Akan tetapi jika Allah menghendaki sebab itu tidak berpengaruh, maka sebab itu tidak akan menghasilkan apa-apa.
Contoh:
• Api yang berkobar, yang secara sunnatullah membakar, namun ketika Allah menghendaki lain, justru api itu menjadi dingin seperti kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
• Seorang wanita yang sedang hamil tua secara sunnatullah tidak mampu menggoyang pohon kurma demi jatuhnya kurma yang ada. Namun ketika Allah menghendaki, maka bergoyanglah pohon kurma tersebut dengan sebab kekuatan seorang wanita yang sedang hamil tua, seperti kisah Maryam. (Lihat Qaulus Sadid hal.36-37)
Terkait dengan ketiga hal di atas, maka dalam hal mengambil sebab, keadaan seseorang dapat dirinci sebagai berikut:
a. Seseorang yang mengambil sebab dengan memenuhi seluruh kriteria di atas merupakan bukti atas kebenaran tauhidnya.
b. Seseorang yang memenuhi seluruh kriteria di atas, akan tetapi dengan sebab qadari yang haram, maka hal ini merupakan kemaksiatan, dan bukan kesyirikan.
c. Seseorang yang tidak memenuhi kriteria pertama, maka dihukumi syirik kecil selama tidak ada unsur pengabdian kepada selain Allah dan termasuk syirik dzahir. Hal ini juga merupakan kedustaan atas nama syariat dan taqdir.
d. Seseorang yang tidak memenuhi kriteria kedua maka dihukumi syirik kecil dan termasuk syirik khafi.
e. Seseorang yang tidak memenuhi kriteria ketiga, maka dihukumi syirik akbar karena telah meyakini adanya pencipta selain Allah.”
(Mutiara Faidah Kitab Tauhid hal 74-77)
HUKUM TAMIMAH (JIMAT/WAFAK)
Ditinjau dari bentuknya, terdapat dua macam tamimah, yaitu tamimah yang berupa Al Qur-an dan non Al Qur-an.
1. Jika tamimah itu berupa Al Qur-an, maka kalangan shahabat dan tabi’in berselisih pendapat tentang bolehnya menggantungkan jimat dari Al Qur-an atau yang berupa nama dan sifat Allah subhanahu wa Ta’ala. Namun pendapat yang lebih tepat adalah hukumnya tetap haram. Meskipun hal tersebut tidak sampai kepada derajat syirik, karena dia bersandar kepada kalamullah dan bukan kepada makhluk.
Ada tiga alasan mengapa tamimah dari Al Qur-an (atau berupa asmaul husna) tetap haram, yaitu:
• Keumumuman dalil larangan tamimah dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
• Untuk mencegah adanya pemakaian tamimah dari non Al Qur-an.
• Akan menyebabkan pelecehan Al Qur-an karena jimat tersebut akan tetap dipakai ketika buang air besar, dan lain sebagainya.
2. Jika tamimah itu berupa non Al Qur-an, maka hukumnya haram dan merupakan kesyirikan. Besar kecilnya syirik tersebut tergantung dari keyakinannya.
• Jika tamimah tersebut hanya diyakini sebagai sebab semata, tidak memiliki kekuatan sendiri (sebab tersebut menimbulkan pengaruh karena kehendak Allah) maka hal ini termasuk syirik ashghar. Dan termasuk dalam syirik dalam masalah uluhiyah karena hatinya telah bersandar kepada selain Allah.
• Jika tamimah tersebut diyakini memiliki kekuatan tersendiri (sebab itu terjadi tanpa kehendak Allah) maka hal ini termasuk syirik akbar, yaitu syirik dalam masalah rububiyah karena dia telah menisbatkan (menyandarkan) penciptaan kepada selain Allah. (Lihat Qaulus Sadid hal 37-38 dan Qaulul Mufid, I/162-163)
Dalil-dalil tentang keharaman dan kesyirikan Tamimah
1. Allah berfirman,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". Katakanlah: "Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan rahmat-Nya?. Katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku". Kepada-Nya lah bertawakal orang-orang yang berserah diri.
Bukti pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa berhala-berhala tersebut tidak mampu memberikan manfaat atau menolak mudharat bagi para penyembahnya. Maka hal ini menunjukkan bahwa beribadah kepada berhala bukan merupakan sebab untuk memperoleh manfaat atau menolak mudharat. Keadaannya dapat di-qiyas-kan (dianalogikan) kepada para pengguna tamimah yang telah mengambil sesuatu sebagai sebab, padahal sesuatu tersebut bukan merupakan sebab untuk mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Demikian juga para pengguna tamimah telah bersandar kepada selain Allah seperti kaum musyrikin yang telah bergantung kepada sesembahan mereka.
2. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan sendiri bahwa tamimah adalah perbuatan syirik,
إِنَّ الرُّ قَى وَالتَّمَائِمَ والتِّوَالَةَ شِرْكٌ
Sesungguhnya ruqyah (jampi-jampi), jimat dan pelet itu adalah syirik.” (Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Al Hakim. Disebutkan oleh syaikh Al Albani dalam silsilah Ahadits Ash Shahihah no 331)
(Diringkas dari Mutiara Faidah Kitab Tauhid, Ustadz Abu Isa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar